Kalau saya katakan kata “kopi” kepada Anda, apa yang akan Anda bayangkan? *hening sejenak mikir-mikir jawaban.
Taaatap mata saya… tatap… tatap… Taaaa Zzz…zzz…zzzzz….
Eh, bangun. Belum apa-apa kok udah tidur ni sih,hahaha… maklum aja deh, lagi hobi ketiduran nih. Nah, kembali ke pertanyaan saya di awal tadi. Udah ngejawab belum tu? *hening lagi sejenak buat mikir. Tidur lagi.. ZZz.. zzz.. zzz…
Udah beluumm? Lho, kok dan semacam maen petak umpet aja ni ya :). Okedeh, klo ngak ada yang ngejawab, jawab sendiri aja deh (sedih banget ya). Mungkin kawan-kawan bakalan kebayang ketika disebut kata “kopi” adalah :
-gelas (bisa kaca, plastik, mug, beling -?-),
-hitam (karna warna kopi itu hitam, sebelum keluar inovasi jadi kopi putih)
-sendok (yang kadang-kadang bikin nyangkut lobang hidung)
-begadang (langsung kebayang lagunya Rhoma Irama)
yah, jawaban-jawaban semacam itu wajar aja muncul di otak bawah sadar kita karna memang itulah ciri-ciri wujud dari kopi. Kopi sendiri sudah dikenal luas di masyarakat Indonesia dan menjadi menu wajib hampir di seluruh cafe ataupun warung kopi. Modelnya bisa jadi bermacam-macam, bahkan sampai ada kopi yang diberi nama “kopi Luwak”. Kopi yang berasal dari biji kopi hasil kotoran luwak yang telah terfermentasi itu sangat terkenal kelezatannya. Sampai katanya presenter terkenal sekaliber Oprah Winfrey aja pernah mencobanya. Hmmm…(sambil tarik nafas panjang-panjang ngebayangin aromanya) :). Namun kali ini saya akan membuka wawasan anda lebih tajam, lebih dalam dari biasanya mengenai kopi, khususnya di bagian Indonesia paling barat. Taaaatap mata saya…. Zoooooommm in : Aceh.
Jika pernah ke Aceh, apalagi Kota Banda Aceh sungguh tidak sulit menemukan yang namanya warung kopi. Dari tingkat Kota, Kecamatan, Desa, Dusun, bahkan di tingkat lorong pun terkadang ada. Sehingga ada yang menyebutnya sebagai ‘Negeri Seribu Warung Kopi’. Banyaknya warung kopi menandakan bahwa budaya minum kopi (selanjutnya disebut ngopi) sudah sangat berakar dalam masyarakat Aceh. Tidak ada sejarah pasti yang menyebutkan kapan budaya ini mulai muncul. Namun diduga kuat, budaya ini muncul dan dipengaruhi oleh hubungan Kesultanan Aceh dan Kesultanan Ottoman yang sekarang namanya Turki.
Ngopi, sampai sekarang masih terus ada dan berakar kuat dalam masyarakat Aceh. Ngak pagi, siang, sore, apalagi malam, selalu saja ada manusia-manusia yang nongkrong di warung kopi. Fenomena inilah yang membuat sebagian orang-orang dari luar Aceh yang men-cap masyarakat Aceh sebagai pemalas. Ya iya, abesnya kerjanya di warung kopi terus sih. Fenomena ini pula yang lumayan sering ditanyakan oleh teman-teman dari luar Aceh kepada saya (bagi yang merasa ngak usah tunjuk tangan ya). Siapa yang belum tahu alasannya kenapa, alangkah baiknya merasakan dulu nuansa warung kopi di Aceh, hehehe…
Pemandangan salah satu Warung Kopi di Banda Aceh
Pada kenyataannya, yang terjadi di warung kopi itu sendiri adalah bukannya bermalas-malasan seperti yang dilihat. Seperti kata pepatah, yang dilihat tak selamanya seperti kenyataan (emang ada ya pepatah seperti itu). Saat memasuki warung kopi, nuansa pertama adalah telinga kita akan mendengar gemuruh bak suara gerombolan tawon. Pertanda bahwa sedang adanya demonstrasi dan kerusuhan. Demonstrasi bicara bebas dari para ‘pembicara’ dan rusuh karna uang buat bayar tinggal pas-pasan (eh, itu namanya risih ya.. :D). Suara gemuruh itu tidak lain tidak bukan adalah suara-suara dari manusia yang sedang asik ngopi. Dan jika ada suara seperti demikian bisa kita tebak, pastinya mereka sedang membicarakan atau mendiskusikan sesuatu.
Warung kopi sering dimanfaatkan sebagai ajang diskusi/komunikasi bebas lepas dari berbagai kalangan. Tua, muda, bahkan remaja, cewek, cowok, ibu-ibu (klo ibu-ibu ngak ada ding, karna lebih suka diskusinya tu di arisan aja) ada aja bahannya. Masalah politik lah, pembicaraan Tugas Akhir mahasiswa yang ngak kelar-kelar, judul pilem or buku yang baru terbit, perdebatan siapa duluan ayam atau telur, curhat masalah cinta, sampe curhat karna ngak ada yang menerima cintanya. Ckckck.. kompleks banget yah.
Warung kopi tradisional vs modern
Bahan-bahan yang didiskusikan biasanya bergantung juga pada tempat ngopinya (warung kopi tersebut). Secara umum, warung kopi di Aceh saat ini dapat dibagi menjadi dua. Pertama, warung kopi tradisional yang masih mempertahankan konsep lama. Warung kopi ini biasanya bergaya biasa saja dan menu minumannya hanya kopi (panas/dingin) atau teh, kadang-kadang tambah susu. Kalau kita masuk ke warung kopi jenis ini, dominan yang berada di dalamnya adalah orang-orang yang berkategori usia lanjut di atas kepala tiga. Pembicaraannya? Tak jauh dari urusan politik, rumah tangga, agama, ataupun kebanggaan karna anaknya sudah sarjana. Yang sedikit menarik menurut saya dari warung kopi tradisional ini adalah pelanggannya adalah orang-orang tetap dan sedikit fanatik. Dan coba saja jika kita datang di hari dan jam yang sama, amati saja di sebuah meja, maka orangnya bakalan itu-itu saja. Haha… hal ini bukan mengada-ngada lho, tapi memang kenyataannya begitu. Seperti di salah satu warung kopi yang sudah lama banget berdirinya di kawasan Beurawe, Banda Aceh. Setelah shalat shubuh kontan saja warung kopi itu dipenuhi pelanggan yang masih berstelan baju koko dan sarung (abes shalat). Setiap hari duduk di meja yang sama dan menu pesanannya sudah hampir pasti sama. Jadi pelayan warungnya ngak susah-susah lagi nanya mau pesan apa. Hehehe…
Warung Kopi yang Masih Mempertahankan Konsep 'Tradisional'
Kedua, warung kopi modern. Modern disini sih sebutan saya aja, biar nampak beda gitu dengan kata ‘tradisional’. Dari segi menu, lebih komplit dari warung kopi tradisional dan sudah lebih mirip kepada semacam cafe (emang apa bedanya warung kopi sama cafe ya :D). Disini pelanggan bisa memesan tidak hanya kopi, tapi ada juga juice, cappucino, teh botol, minuman kaleng, sanger (khas Aceh), dan semacamnya deh. Pelanggannya didominasi kaum muda dan remaja. Pembicaraannya? Tidak jauh-jauh dari Pok bita : Politik, Bisnis, dan Cinta. Halaman depan parkiran hampir selalu dipenuhi oleh motor dan mobil, apalagi di malam hari, terkhusus lagi di malam minggu dan malam klo lagi ada maen bolanya. Perbedaan yang mungkin paling mencolok dari warung kopi tradisional adalah warung kopi kategori ini dilengkapi dengan fasilitas wifi. Pelanggan dengan mudah dapat mengakses internet sambil memesan minuman. Namun terdapat kekurangan yang saya lihat dari adanya fasilitas internet ini, yaitu para penikmat kopi cenderung ‘terhipnotis’ dengan laptop (karena ada layanan wifi tadi) sehingga kurang berkomunikasi dengan orang di sekelilingnya. Sibuk aja dengan laptopnya dan terkadang untuk bicara dengan kawan di depannya saja harus pake fasilitas chatting. Hadue… cate deeh…..
Menjelang Nontong Bareng Bola
Sekilat info, ada hal menarik dari kedua warung kopi tradisional maupun modern. Proses pembuatan kopi atau dapurnya itu berada di luar. Dalam artian bukan di ruangan tertutup seperti kebiasaan di daerah lain. Para pelanggan dapat melihat secara langsung proses ‘penyiapan’ minumannya. Kopi dimasukkan ke dalam ceret lalu disaring dengan cara diangkat tinggi-tinggi. Saringannya pun berbentuk unik, panjang ke bawah semacam kaos kaki aja. Begitu terus dan setelah beberapa saringan baru kopinya dimasukkan ke dalam gelas untuk dihidangkan kepada kita. Satu lagi hal yang menarik dan biasanya hanya ada di warung kopi kategori tradisional adalah adanya ‘kopi pancong’ alias kopi setengah gelas. Klo udah pesan kopi pancung, udah hampir pasti duduknya bakalan lama tuh karna banyak ngomongnya. Ckckckck…
Warung Kopi di Aceh, parkirannya lumayan rame ya.. :)
Warung Kopi di Banda Aceh
Adanya budaya ngopi tersebut secara langsung maupun tidak telah melahirkan pola interaksi langsung antar sesama. Maka dengan berbagai permasalahan yang didiskusikan, warung kopi itu tak ubahnya bagai pusat informasi dari berbagai kalangan. Orang-orang di dalamnya yang menyampaikan info dapat melatih diri untuk terampil bicara dan diskusi sementara pendengar dapat melatih diri untuk mau mendengarkan dan bertukar informasi bila diperlukan. Pejabat dan masyarakat akan jadi peserta diskusi warung kopi yang mantap. Wah, klo masalah ini seharusnya sih Pak SBY ada baiknya diajak ke warung kopi ya. Bisa mendengar aspirasi dan berdiskusi langsung dengan masyarakat. Ataupun membuat rapat koordinasi dan konsolidasi dengan para menterinya. Jadi, ngak perlu sibuk-sibuk nge re-shuffle kabinet terus. Hehehe…
Beswan Aceh sendiri, tak jarang melakukan rapat di warung kopi. Salah satu kelebihan yang paling dirasakan adalah berkumpulnya beswan lintas angkatan. Selain reuni dan silaturrahim, adanya beswan lintas angkatan ini secara otomatis akan men-sharing informasi dan pengalaman serta masukan-masukan buat adek-adek beswan baru. Ada juga sih, katanya sebagai ajang nyari jodoh. Haduuh… yang pasti tetap kita dukung deh :). Dan bagi saya sendiri melalui ‘sistem rapat warung kopi’ ini, semua beswan di bawah saya dan 1 angkatan di atas bisa saya kenal.
Nah, siapa bilang budaya ngopi itu jelek. Kalo mau ngopi sendiri sih kurang asik, dan tujuannya palingan buat begadang. So, Maringopi, ntar yang dari luar daerah klo ke Aceh, hubungi saya biar diajak ngopi. Dengan secangkir kopi, kita bisa mendapatkan segudang informasi. Bisa belajar mendengarkan dan saling berbagi. Atau kalau beruntung, bisa dapat yang dicari. Hihi…secangkir kopi memang bisa jadi pengikat hati ya..
Sebelum Nules, Tetep Ngopi Dulu... :)
***
Zooooooom out :
Masihkah anda menatap mata saya?
Ah, jangan lagi deh. Capek dari tadi tatap-tatapan terus.
Sekarang, setelah penjelasan dari saya, ketika saya menyebutkan “kopi”, Anda akan menjawab apa? Hmm…. kali ini saya ngak perlu nunggu jawabannya, langsung aja ngejawab sendiri deh :
-gelas (kali ini Cuma kebayang gelas kaca ataupun mug, ngak ada beling)
-hitam (kecuali saya hipnotis Anda atau saya tambahkan sekaleng susu)
-sendok (kali ini udah ngak nyangkut lagi di hidung karna Anda udah mulai sadar)
-warung kopi (suara bising dan bahasan dari berbagai kalangan)
-teman ngobrol (yang kadang ngak ada putus-putusnya bicara, cewek or cowok terserah deh tergantung selera)
-Ahmad Zikra (ya, karna saya yang nules tulisan ini) Moga bermanfaat.
hahaa… bagus ne untuk klarifikasi bagi orang2 yang nganggap ngopi itu bermalas2an.. mantaaap..!!! saya sudah buktikan sendiri klo ngopi lebih dari sekedar duduk… heheheee
Penghayatan yang luar biasa mas Zikra. Mari kita bandingkan dengan budaya ngopi mahasiswa di Yogyakarta. Saya perhatikan, warung kopi yang ada di Yogyakarta sangatlah banyak. Dan hampir tiap malam tidak ada yang sepi. Kebetulan mahasiswa yang ada di sini sering kali melakukan aktivitas diskusi dan rapat untuk organisasi adalah bertempat di warung kopi. Ada tiga klasifikasi warung kopi (Premium). Ini juga berdasar penelitian teman saya. Pertama, warung kopi untuk kelas Premium (kalangan atas), salah satu contohnya ada Starbur, Own Coffe. Kedua, kelas middle Premium (untuk kalangan kelas menengah) contohnya ada Cheers. Ketiga, untuk kalangan kelas bawah, yaitu salah satu contohnya Mato, Toman Caffe, dll.
Saya sendiri hampir menjadi kebiasaan setiap malam pergi ke warung kopi. Yah, meskipun keseringannya adalah pergi ke tempat warung kopi kelas bawah. Tapi, disinilah para pengunjung sangat banyak, bisa saling mengenal satu sama lain. Seringkali sampai ralut malam. Karena warung ini ada yang 24 buka.
iya. terdapat beberapa kesamaan warung kopi di indonesia.
tentunya ini menjadi budaya tersendiri yang layak untuk dipertahankan (tentunya diambil hal positifnya).
beda daerah beda karakteristiknya. mungkin budaya ngopi disana belum begitu kental, namun pastinya ada budaya2 lain yang sejenis dengannya…
hayo, beswan disana ngumpul di warung kopi disini…
warkop ya? hmm… ingat kopi kalo dikudus ingat Jetak, bnyak makna yang dapat digali di warkop, sangat unik, klo di jetak kudus, kami tmn2 se komunitas bisanya memaksimalkan warkop sbg sarana temu kangen dan update issu di kudus… sangat representatif dan tidak ada yg dirugikan antara penjual dan pembeli… maklum lah, kalo ngopi pati luamaaa sekali….
emang begitulah suasana ngopi di warkop..
dan ngopi itu paling enak dengan teman yang ngobrolnya sama-sama ngaco, dari kopi panas sampe jadi dingin..tetap jg enak..karna topik yang dibahas ga habis-habis..
apalagi klo ada objek yang jadi tumbal..
hahay
terima kasih bepe..
iya, bahan yang dibicarakan di warung kopi ngak bakalan ada habisnya. ada aja hal2 yang terkadang muncul secara spontanitas. termasuk juga seperti bepe bilang “apalagi ada tumbalnya” hoho…
thaks kak ipong. iya kak,kebanyakan di banda aceh taunya kopi solong, tapi masih banyak kopi enak lainnya lho..
semoga juga bisa membantu/promosi wisata. apalagi bulan depan akan ada festival ngopi kan..
Sangat menarik membaca tulisan ini. “KOPI” sebuah minuman yg telah menjadi hobi para lelaki jantan Aceh. Sangking pentingnya kopi sampai2 kopi lebih penting di banding rokok. Emang sih,dr pada ngerokok msh lebih baik ngopi. Jd pengen minum kopi Aceh nih..
Ketika mendengar kata KOPI yang terpikir ada kebiasaan saya sebagai anak rantau di Jakarta yg selalu mengkonsumsi KOPI (Pengganti sarapan)di setiap pagi
hehe… klo dah banggi (ketagihan ;demen banget) ma kopi jadinya emnag ngak bisa dipisahkan. tapi jangan juga sarapan ma kopi tu. apalagi anak kos.
saleum ke awak FOBA Jakarta…
hm,, aku sangka di kampung aku aj warung kopi yang besepah hayak.. ternyata di acehpun samo e..??
tapi, seperti yang andrea hirata bilang dalam “cinta di dalam gelas”-nya, ngopi tu dah macam bawaan setiap anak melayu.. rasa tak orang melayu kalau tak ngopi..
oya, klo di tempat aku, warungnya biasa disebut “kodai kopi”. jadi, klo nak ngopi di warung tu, istilahnya “ngodai”..
terima kasih udah berkunjung kak.
wah, dapat istilah baru nie, “ngodai”. dah kepengen berkunjung kesana juga nie. ayo kak undang kami kesana. ngodai dsana ntar..
budaya ngopi di aceh ini sudah tradisi sejak dulu…klo sekarang sudah mulai modern….tapi jgn dikira klo orang sering nge-habisin waktu diwarung kopi brati dia malas atau pengangguran ya…
saya kasi tau deh….buat yg belum tau:
…proyek-proyek miliaran yg ada di aceh, deal nya itu terjadi di warung kopi….
naaa unik kan..klo di jkata dan sekitarnya pasti di sebuah ruangkan dengan design interior mungkin minimalis,,,atau tempat yg terlalu mewah kan…inilah dia bedanya klo di ACEH METROPOLITAN..heheheh
thanks dod..
transaksi proyek (masalah keuangan) juga menjadi salah satu perbincangan yang hangat. bahkan tidak jarang warung kopi yang menyediakan fasilitas ATM. woowww.. dahsyat ya…
hahaha.. ngopi di warkop itu enak lho.
namun bagi seorang cewek, masih agak terasa tabu jika harus ngopi di warung kopi. kecuali ada kawan yang ngedampingi. ayo, cari kawan2 yang mau diajak..
welcome to my blog.
selamat menikmati tulisan-tulisan yang ada dan semoga bermanfaat.
jangan lupa kasih komentar ya. untuk terus menjadi lebih baik nantinya.. hehehe...
:)
butuh waktu berjam2 untuk ngabisin secangkir kopi …
*sanking lamanya di warung kopi
hihi ^^
iya ika. karna biasanya yang diomongin itu juga banyak. sanking banyaknya terkadang ngak nyadar klo kopinya tu udah dingin..
thanks udah berkunjung…
hahaa… bagus ne untuk klarifikasi bagi orang2 yang nganggap ngopi itu bermalas2an.. mantaaap..!!! saya sudah buktikan sendiri klo ngopi lebih dari sekedar duduk… heheheee
anggapan orang bisa jadi bermacam-macam. namun, ujung2nya sebenarnya kembali kepada diri kita sendiri. sejauh mana kita mengambil manfaat darinya.
terima kasih….
jd pengen coba nich nongrong di warung kopi aceh….. klo dtempat sya mungkin kayak nongkrong di warung nasi kucing gitu kkali ya hehe… great post
waa…. boleh mas. mari main kesini. ngopi bareng ntar kita…
Penghayatan yang luar biasa mas Zikra. Mari kita bandingkan dengan budaya ngopi mahasiswa di Yogyakarta. Saya perhatikan, warung kopi yang ada di Yogyakarta sangatlah banyak. Dan hampir tiap malam tidak ada yang sepi. Kebetulan mahasiswa yang ada di sini sering kali melakukan aktivitas diskusi dan rapat untuk organisasi adalah bertempat di warung kopi. Ada tiga klasifikasi warung kopi (Premium). Ini juga berdasar penelitian teman saya. Pertama, warung kopi untuk kelas Premium (kalangan atas), salah satu contohnya ada Starbur, Own Coffe. Kedua, kelas middle Premium (untuk kalangan kelas menengah) contohnya ada Cheers. Ketiga, untuk kalangan kelas bawah, yaitu salah satu contohnya Mato, Toman Caffe, dll.
Saya sendiri hampir menjadi kebiasaan setiap malam pergi ke warung kopi. Yah, meskipun keseringannya adalah pergi ke tempat warung kopi kelas bawah. Tapi, disinilah para pengunjung sangat banyak, bisa saling mengenal satu sama lain. Seringkali sampai ralut malam. Karena warung ini ada yang 24 buka.
Visit my new article:
iya. terdapat beberapa kesamaan warung kopi di indonesia.
tentunya ini menjadi budaya tersendiri yang layak untuk dipertahankan (tentunya diambil hal positifnya).
thanks mas ihsan…
warung kopi disini mah biasa aja,paling banyak ya di daerah pasar-pasar..
paling populer tempat berkumpul ya warteg sama cafe
kalau beswan bkl ngumpul jg paling di kantor cabang
nitip lapak
beda daerah beda karakteristiknya. mungkin budaya ngopi disana belum begitu kental, namun pastinya ada budaya2 lain yang sejenis dengannya…

hayo, beswan disana ngumpul di warung kopi disini…
warkop ya? hmm… ingat kopi kalo dikudus ingat Jetak, bnyak makna yang dapat digali di warkop, sangat unik, klo di jetak kudus, kami tmn2 se komunitas bisanya memaksimalkan warkop sbg sarana temu kangen dan update issu di kudus… sangat representatif dan tidak ada yg dirugikan antara penjual dan pembeli… maklum lah, kalo ngopi pati luamaaa sekali….
betul itu. inti sebenarnya adalah bicaranya. bicara/ngobrol tanpa ngopi terasa hambar hampir basi. heehehe…

emang begitulah suasana ngopi di warkop..
dan ngopi itu paling enak dengan teman yang ngobrolnya sama-sama ngaco, dari kopi panas sampe jadi dingin..tetap jg enak..karna topik yang dibahas ga habis-habis..
apalagi klo ada objek yang jadi tumbal..
hahay
terima kasih bepe..
iya, bahan yang dibicarakan di warung kopi ngak bakalan ada habisnya. ada aja hal2 yang terkadang muncul secara spontanitas. termasuk juga seperti bepe bilang “apalagi ada tumbalnya” hoho…
Ayo ngopi. Ayo Menulis. Ayo cepat tutup tulisan mas Zikra. Ini tulisan penutup punya saya, berkunjung ya.
mari-mari ngopi kemari. alhamdulillah baru siap juga ni tulisan penutupnya.
siap berkunjung deh..
andai bisa meeting di warkop pasti seru, santai dan tak ngebosenin tp serius
mantap tu. mari kita buat meeting di warkop. tapi dananya bang Kijkodrimen talangin ya…
ingat kupi…?… ulee kareng (baca: solong) dunk hehe… postingannya mantap zikra, bisa sekalian buat promosi wisata ni, wisata kopi kali yah… sukses!
thaks kak ipong. iya kak,kebanyakan di banda aceh taunya kopi solong, tapi masih banyak kopi enak lainnya lho..

semoga juga bisa membantu/promosi wisata. apalagi bulan depan akan ada festival ngopi kan..
Sangat menarik membaca tulisan ini. “KOPI” sebuah minuman yg telah menjadi hobi para lelaki jantan Aceh. Sangking pentingnya kopi sampai2 kopi lebih penting di banding rokok. Emang sih,dr pada ngerokok msh lebih baik ngopi. Jd pengen minum kopi Aceh nih..
mari ngopi, hehe…
Ketika mendengar kata KOPI yang terpikir ada kebiasaan saya sebagai anak rantau di Jakarta yg selalu mengkonsumsi KOPI (Pengganti sarapan)di setiap pagi
hehe… klo dah banggi (ketagihan ;demen banget) ma kopi jadinya emnag ngak bisa dipisahkan. tapi jangan juga sarapan ma kopi tu. apalagi anak kos.
saleum ke awak FOBA Jakarta…
pipip yang di aceh aja ga pernah diajak ngopi… kok yang di luar aceh diundang gitu ya? hahahha…
pipip sibuk ngunyah kuaci, jadinya susah diajak ngopi (emang sering ngopi juga ya :D).
eh, dah merantau sekarang kan? ntar waktu balek deh hub aja..
hm,, aku sangka di kampung aku aj warung kopi yang besepah hayak.. ternyata di acehpun samo e..??
tapi, seperti yang andrea hirata bilang dalam “cinta di dalam gelas”-nya, ngopi tu dah macam bawaan setiap anak melayu.. rasa tak orang melayu kalau tak ngopi..
oya, klo di tempat aku, warungnya biasa disebut “kodai kopi”. jadi, klo nak ngopi di warung tu, istilahnya “ngodai”..
terima kasih udah berkunjung kak.
wah, dapat istilah baru nie, “ngodai”. dah kepengen berkunjung kesana juga nie. ayo kak undang kami kesana. ngodai dsana ntar..
ya,,ya,,ya… kami jemput kawan2 untuk ngodai di kampung kami…
siip banget tu…
ntar kami bawa kopi khas dari sini juga lah. hehe..
eh kak, klo da pelatihan dimana gitu ntar. tukeran kopi khas masing-masing ya..

rukok sibak kupi pancong,
pegah haba u be bak drien
ooh wakte baye dilake pancung
wkwkwkwkwkw
beda orang beda strategi/caranya juga. yg penting di warungkopi dah bisa ngomong n sharing. yang bayar terserah belakangan. ckckck…
nyan mulkan bek cit meunan beuh..

haha…
warung kopi yg mnjadi kontroversi:)tulisan’a bagus zik:)
mudah-mudahan ke depan warkop ini bisa lebih dimaksimalkan lagi fungsinya ya..
terima kasih rina..
salam beswan, hehe…
budaya ngopi di aceh ini sudah tradisi sejak dulu…klo sekarang sudah mulai modern….tapi jgn dikira klo orang sering nge-habisin waktu diwarung kopi brati dia malas atau pengangguran ya…
saya kasi tau deh….buat yg belum tau:
…proyek-proyek miliaran yg ada di aceh, deal nya itu terjadi di warung kopi….
naaa unik kan..klo di jkata dan sekitarnya pasti di sebuah ruangkan dengan design interior mungkin minimalis,,,atau tempat yg terlalu mewah kan…inilah dia bedanya klo di ACEH METROPOLITAN..heheheh
thanks dod..

transaksi proyek (masalah keuangan) juga menjadi salah satu perbincangan yang hangat. bahkan tidak jarang warung kopi yang menyediakan fasilitas ATM. woowww.. dahsyat ya…
hahaha.. ngopi di warkop itu enak lho.
namun bagi seorang cewek, masih agak terasa tabu jika harus ngopi di warung kopi. kecuali ada kawan yang ngedampingi. ayo, cari kawan2 yang mau diajak..
terima kasih dian…

mudah-mudahan dapat berguna dan menginspirasi…
thanks bang.
ibaratnya mengerikan juga tu. hehe..